KEPEMIMPINAN PUNAKAWAN : Semar-Gareng-Petruk-Bagong
“Tanggap ing sasmita dan
Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
“Pinangka mrih hamemayu
hayuning bawana”
“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa
artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau
mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam
kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman,
yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena
dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki
kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas,
sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat
dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah
budaya Jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat
pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna
sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran
karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam
semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam
cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua
kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat
spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya
saling kontradiksi.
Kelompok
ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda:Cepot). Mereka menggambarkan
kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi
memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam.
Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra
serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan
Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas
mengemban/momong para kesatria sejati.
Ki Lurah
Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius
sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukanIsmaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam
keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita.Guru
sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita.
Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda
pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan.
Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya
akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu
terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri
Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria
Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria
dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu
dituakan dan dipanggil sebagaikakang, karena dituakan dalam arti
kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman
luas dalam menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya
dengan sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :
1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”.
Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
2. Dalam cerita pewayangan,
kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula
sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya
yang bergaya guyon
parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui
cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun
di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan,
dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara
teguh oleh bendharanya yang jumenengsebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang
bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah
Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu
melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al
mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr
ma’ruf.
Adapun
watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong,
siaga dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok
ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di
negeri Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana)
di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa
kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah,
bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki
Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur
angkara, untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat
buruk, dan semua nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang
untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling
kepada bendhara-nya agar selalu eling danwaspadha jangan menuruti kehendak nafsu
jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan
pula karakter dalam diri manusia (jagad alit).
Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter yang
berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat
dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar
dari dalamcahyo sejati (nurulah) merasuk ke dalam
sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada
di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh
kelompok Pendawa Limabeserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria
yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya
masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok
kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi
dalam jagad alitmanusia, antara nafsu negatif
dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan dengan
perang Brontoyudho antara kesatriamomongan Ki Lurah Semar dengan kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif
melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang
Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
1. Ki Lurah Semar (simbol
ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya
akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa
manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk
menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500
tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki
Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat
misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat
tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam
konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia
Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali
setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada
momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali,
yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung
siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para
satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan
Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat
jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam
perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang
sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu
sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang,
tidak kagetan dan tidakgumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik
ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman
hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar,
tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari
perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat.
Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat
thread:Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang
memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka
den prayitna:semare artinya menidurkan diri, agar supaya
batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak
api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati
sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya
selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah),
dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan
ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam
pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar
dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranayaatau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual
Jawa, khususnya mengenai konsepmanunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat
menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru
sejati atau sukma sejati wujudnya
samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima
adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena
sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang
satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru
sejatiagar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan
memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam
“laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka,
jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti :
musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug),
paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru
sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif
politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai
lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat.
Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas
sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan.
Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di
bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif
atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa
sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita.
Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan
pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng
agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap
perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuknetepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita,
kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng
merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri
mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya
kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya
manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau
kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika
berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng
merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil
keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa
manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena
sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk
aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena
tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman,
baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi
sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala
Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk
negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala
Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah
putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki
nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung,
telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai,
karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa
diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang
panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung
rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk
Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki
kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolongtidak ada yang disembunyikan,
tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan
adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang
masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu
mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk
memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong
wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu
menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk
mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat
dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah
Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan.
Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatriaPandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran
dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga
Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar
mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang
baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang
Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar
sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa
bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar
tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki
ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan
tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun
menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun
demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang
tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan
mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan
selalu disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang
kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati
para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa
yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai
adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik
membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur
para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah
suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai
“suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos,
lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki
esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala
tengenyang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para
kesatria asuhan sekaligus majikannya.
Kepemimpinan Punakawan
Kontroversial
Dalam cerita wayang
sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis.
Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau
Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan
punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para
“ksatria” angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan
raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu
Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki
Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut
sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti
kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.
Ciri fisik Togog dkk
memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan,
peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan
berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun
akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang
kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak
memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik. Sekalipun menang tidak boleh
menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta
nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat,
saran, masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak
pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk
walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing,
yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita.
Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur
angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah
kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan
sebagai kelompokpenegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi
teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah
majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal
memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan
menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan,
namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib
Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan
aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining
power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah
disiramkan di hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali
nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan apa yang kini dialami
oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat di hati
para tokoh dan pejabat hing nusantara nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun
manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk
memihak rakyat kecil.



0 komentar:
Posting Komentar