Sebuah
Kajian Semantik
Penyusun: Dina Ashlikhatul Kirom (2601413073)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan salah satu unsur untuk mengenal/
mempelajari budaya suatu masyarakat di mana pun di dunia. Dengan kata lain,
segala hal yang ada dalam kebudayaan
akan tercermin di dalam bahasa. Melalui bahasa seseorang berkomunikasi baik
secara lisan dan tulisan atau verbal dan nonverbal. Fakta tersebut
menyiratkan bahwa aktivitas manusia tidak terlepas dari bahasa.
Aktivitas yang dilakukan manusia itu diberikan nama
oleh pengguna bahasa. Nama–nama aktivitas tersebut kadang–kadang
lebih dari satu kata untuk satu kegiatan. Penamaan itu membentuk suatu medan
makna dengan komponen–komponen, relasi, dan fitur unik tersendiri yang mampu
membedakan antara satu dengan yang lain, akan tetapi tidak terlepas juga dari
tumpang tindih makna yang menyebabkan ambiguitas terhadap pemakainya. Termasuk
medan makna dalam penamaan aktivitas-aktivitas berkebudayaan, atau penamaan itu
lama-kelamaan menjadi kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Seperti dalam penelitian ini tertuju pada masyarakat kecamatan Kemranjen, Banyumas.
Kebudayaan adalah seluruh gagasan manusia yang harus dibiasakan
dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu
(Koentjaraningrat, 1987: 9). Kebudayaan dolanan merupakan hal yang digemari
semua anak-anak, termasuk anak-anak dari masyarakat Banyumas. Meskipun sampai
sekarang sudah teracuni banyak hal dari luar, tetap saja dolanan itu tetap
lestari di kalangan anak-anak Banyumas. Terdapat banyak leksem yang mewarnai
anak-anak itu bermain. Leksem atau istilah itu menjadi kebiasaan yang
memudahkan anak-anak untuk bermain. Misalkan
mlumpat
(dalam dolanan setringan bermaksud
melompati karet atau tali), njiwit (dalam
dolanan tungtungbalung berarti
mengangkat tangan dengan dijiwit),
nendang (dalam dolanan gendengpitu
bermaksud merubuhkan pertahanan), dan lain sebagainya.
Manusia memiliki suatu anugerah berpikir. Umumnya,
kemampuan kreativitas berpikir tersebut menjadi wujud sebuah kebudayaan. Salah
satu di antaranya yakni budaya memasak. Setiap suku di dunia memiliki
ciri khas tersendiri dalam hal kreativitas memasak meskipun mereka sudah hidup
berdampingan dalam kurun waktu yang lama dengan suku lain. Kebiasaan nenek
moyang beberapa suku di Indonesia pada masa lalu menjadi suatu kebiasaan yang
mereka anut hingga saat ini. Dalam hal ini penulis akan mengkaji analisis
komponen makna dalam dolanan bocah masyarakat Banyumas dan medan makna dalam
dolanan bocah masyarakat Banyumas.
Penelitian terhadap konsep makna dengan berbagai teori
semantik sudah banyak dilakukan. Misalnya: Setiyanto dkk (1997) melakukan
analisis medan makna aktivitas tangan bahasa Jawa, Ardhany (2010) menganalisis
komponen makna slang dalam album Snop Dog, Kartika (2007)
meneliti konsep warna dalam bahasa Batak Toba dengan teori metabahasa semantik
alami dan Nurilam (2010) pernah mengkaji medan makna aktivitas memasak dalam
bahasa Perancis. Semua kajian itu berguna untuk menunjukkan bahwa kajian/
analisis komponen makna terhadap aktivitas dolanan bocah dalam bahasa jawa
Banyumasan belum pernah dilakukan penelitian tersebut. Jadi, perlu kiranya penulis
melakukan penelitian terhadap leksem–leksem pembentuk aktivitas dolanan
bocah masyarakat Banyumasan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan
harapan dapat menemukan konsep makna khususnya di dibidang aktivitas yang
dikaji.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah
dipaparkan, permasalahan dalam penelitian ini ada dua, yakni:
1. Bagaimanakah komponen makna aktivitas dolanan
bocah masyarakat Banyumasan?
2. Bagaimanakah medan makna aktivitas dolanan
bocah masyarakat Banyumasan?
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yakni mengungkap
fitur semantis mengenai medan makna, ciri–ciri komponen atas
leksem–leksem aktivitas dolanan
bocah masyarakat Banyumasan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan pengetahuan mengenai komponen makna dalam
aktivitas dolanan bocah mayarakat
Banyumasan.
2. mperkaya penelitian semantik bahasa Jawa khususnya
bidang komponen makna.
3. Sebagai bahan bacaan dan referensi untuk
peneliti–peneliti lain dalam penerapan analisis komponen makna.
4. Masukan terhadap masayarakat Jawa Banyumasan sebagai
penutur agar lebih memahami dan melestarikan bahasa daerah sendiri sebagai
kearifan lokal.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Penelitian Terdahulu
2.1.1. “Penelitian Setiyanto dkk (1997) melakukan analisis medan makna aktivitas
tangan bahasa Jawa. Penelitian tersebut dapat dijadikan acuan karena sama-sama
mengkaji bahasa sebuah aktivitas dengan menggunakan bahasa Jawa. Namun bahasa
Jawa yang dikaji berbeda dengan penelitian ini. Hal itu dikarenakan penelitian
ini membahas bahasa Jawa Banyumasan sedangkan Setiyanto dkk membahas aktivitas
dalam bahasa Jawa secara keseluruhan.
2.1.2. “Ardhany
(2010) menganalisis komponen makna slang dalam album Snop Dog. Persamaannya yakni sama-sama menggunakan
komponen makna sebagai kajiannya. Namun berbeda dalam hal perluasan pembahasan.
Penelitian yang dilakukan oleh penyusun ini juga membahas medan makna.
Perbedaannya juga tampak pada objek kajian. Peneliti/ penyusun menggunakan
objek kajian komponen makna dalam dolanan bocah, sedangkang Ardhany
menganalisis komponen makna slang dalam album Snop Dog.
2.1.3. “Wernando Wilys Aritonang (2012) melakukakn
penelitian mengenai komponen makna dan medan makna aktivitas memasak dalam bahasa
Batak Toba dengan teori metabahasa semantik alami. Kajian dalam penelitian
Wernando sama dengan penelitian ini, hanya saja berbeda dalam objek dan ruang
lingkup bahasa yang diteliti.
2.1.4. “Nurilam
(2010) pernah mengkaji medan makna aktivitas memasak dalam bahasa Perancis. Hampir
sama dengan Wernando Wilys Aritonang, namun berbeda dalam hal ruang lingkup
kajian. Nurilam lebih mendetail dalam medan makna seperti halnya yang dilakukan
peneliti dalam penelitian medan makna dan komponen makna dalam dolanan bocah masyarakat Banyumas ini.
2.2.
Landasan Teori
Untuk
menjawab masalah pertama dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa
teori dari antara lain yakni: teori
analisis komponen yang dikemukakan oleh Nida (dalam Sudaryat 2009:55-64), teori
medan makna yang diungkapkan oleh J. Trier (dalam Parera 2004:139-140).
Analisis komponen makna yang dikemukakan Nida dipilih karena
penjabarannya sangat jelas dan rinci dalam setiap penganalisisan. Pemakaian
teori medan makna yang dikemukakan oleh J. Trier digunakan karena teorinya sangat
cocok dengan kajian penulis.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan semantis.
3.2.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan pada anak-anak masyarakat Banyumas, khususnya pada ruang lingkup
daerah kecamatan Kemranjen, Banyumas.
3.3.
Data Dan Sumber Data
Sebuah penelitian membutuhkan data
dari sumber yang tepat dan dapat dipercaya. Data
tersebut dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari
sumbernya tanpa memerlukan mediasi, kemudian dicatat atau diambil dan
dianalisis untuk pertama kalinya. Data sekunder adalah data yang
diperoleh secara tidak langsung dari pihak lain yang berhubungan dengan sumber
dan dapat dipercaya. Data sekunder biasanya dalam bentuk dokumen–dokumen atau
catatan dan mampu berperan sebagai pendukung data primer. Data sekunder berupa
data dari internet, dan buku-buku pendukung lain. Untuk mendapatkan data tulis
digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993:133,135) didukung dengan teknik catat.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.Makna dan Jenis Dolanan Bocah pada Anak-anak Masyarakat
Banyumas
Bermain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:718)
merupakan melakukan sesuatu untuk
bersenang-senang. Aktivitas bermain atau dolanan
merupakan aktivitas yang digemari oleh anak-anak. Pendefenisian ini tidak mengurai maknanya secara
mendalam hingga membuat perputaran makna kata secara berulang. Pada masyarakat
Banyumas terdapat banyak leksem-leksem ataupun istilah yang hanya akan
dimengerti oleh masyarakat tersebut. Hal tersebut dikarenakan semua istilah itu
sudah menjadi kebudayaan dolanan yang mereka miliki.
Bermain
pada waktu masih ada pada masa kanak-kanak merupakan hal yang wajar. Banyak
jenis permainan yang dimainkan oleh anak-anak. Hal itu tergantung pada usia
ataupun minat masing-masing personal. Ada permainan pula yang tidak memerlukan
klasifikasi usia. Bahasa pada anak-anak pun masih menggunakan bahasa lugas.
Tidak ada pembeda yang menyulitkan meskipun berbicara dengan anak yang berusia
lebih tua. Pembeda yang dimaksudkan adalah penggunaan bahasa krama. Mereka
menyamakan bahasa-bahasa mereka dalam sebuah permainan. Bahkan dapat dianggap
membuat kebudayaan baru dari komponen makna dan leksem yang dimiliki.
Jenis
permainan lebih mudah dibedakan dengan klasifikasi model permainan. Hal itu
melihat antara penggunaan area yang luas maupun area yang cukup dalam ruangan.
Permainan dengan menggunakan area yang cukup luas biasanya dilakukan dengan
cara beramai-ramai dan membutuhkan peralatan tersendiri. Permainan itu antara
lain: gendeng pitu (permainan
menggunakan tujuh keping gendeng yang
ditumpuk menjadi satu), dul-dulan (permainan
menjaga benteng pertahanan yang dimainkan oleh dua kelompok besar), jonjang semut (permainan ini dilakukan
dengan cara menutup salah satu orang yang menjaga dan mencari mangsa),
jonjang umpet atau petak umpet (permainan yang dilakukan dengan cara
bersembunyi dan salah satu menjaga sebagai pawang), jonjang ndogrok (permainan kejar-kejaran dan melakukan pertahanan
dengan ndodhok atau jongkok), dir-diran (bermain gundu), gangsingan (bermain memutar gangsing),
dan setringan(permainan karet gelang).
Adapun jenis permainan kecil yang
dapat dimaksudkan menjadi permainan yang dapat dilakukan di dalam ruangan
antara lain: jonjang umpet (petak
umpet dalam rumah), gatheng (permainan
melempar-lemparkan batu yang biasa dilakukan oleh anak perempuan), dakon (permainan menggunakan alat
dakon dengan biji buah sawo/ kecik), jamimur
(permainan menggunakan tangan dan kata-kata yang tujuannya mencari satu
orang yang kalah dan akhirnya mendapatkan hukuman).
4.2.Klasifikasi atau Pengelompokan
Leksem
Klasifikasi
leksem dapat diambil berdasarkan berbagai sudut pandang. Bisa melihat pada
kriteria leksem menurut orang yang mekakukannya/ pelaku pada masyarakat
kecamatan Kemranjen, Banyumas.
1.)
Masang,
maksud masang disini bukan berarti memasangkan sesuatu, namun masang berarti orang itu kalah dan
menjadi orang utama dalam suatu permainan. Dia yang ‘dikerjai’ oleh lawan
mainnya sebagai pihak utama yang dijatuhkan
2.)
Bawang
kothong, berarti orang yang ikut bermain namun tidak pernah
dianggap salah. Biasanya orang yang bawang
kotong merupakan seorang anak kecil yang diikutsertakan tapi belum diminta masang karena terlalu kasihan.\
3.)
Sambit,
adalah orang yang sedang istirahat dalam melakukan permainan. Misalkan dalam
permainan dul-dulan, anak yang sedang
sambit tidak boleh diapa-apakan
karena dianggap tidak ada dalam permainan. Sambit
biasanya dilakukan karena orang itu terlalu lelah untuk bermain.
4.)
Lithung,
merupakan sebutan orang yang ketahuan dari tempat persembunyiannya. Biasanya lithung diberikan pada waktu tengah bermain petak
umpet.
Adapun
klasifikasi kedua dilakukan dengan melihat leksem itu diperuntukkan pada
permainan besar. Seperti Mlumpat atau
setring (melopati tali), nendhang atau nyempar (merusak, misalkan pada permainan tujuh batu), dengklek (berjalan dengan mengangkat
satu kaki ke atas), ndodhok atau ndhogrok (jongkok untuk melakukan
pertahanan), ngiter (berputar
mengitari lokasi permainan untuk mencari orang yang masang), ngethungi (menemukan
orang yang sedang bersembunyi), mbalang atau nguncali (melempar batu pada sasaran permainan), dan lain sebagainya.
Kriteria selanjutnya
melakukan klasifikasi pada leksem menurut permainan kecil. Jenis-jenis leksem
itu antara lain: njiwit (memcubit
sedikit kulit waktu bermain tung-tung
balung), nyiting (mencubit atau
menjawil sedikit rambut atau kulit pipi pada waktu membangunkan anak di
permainan), dengklek (berjalan dengan
mengangkat satu kaki ke atas), ngunclang (melempar
biji sawo/kecik dengan tangan
terbalik), nggacho (melempar batu dan
menangkapnya dengan tangan),dan lain
sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa leksem yang
digunakan beraktivitas yang dilakukan dalam dolanan
bocah lebih melihat ke jenis permainan. Jenis permainan itu pula melihat
pada besar atau kecilnya permaianan. Jumlah leksem dalam aktivitas atau kata
kerja pada permainan besar kurang lebih ada delapan leksem.Urutan kedua disusul
aktivitas pada permainan kecil memiliki kurang lebih lima leksem. Sementara
pada klasifikasi orangnya Masyarakat Kecamatan Kemranjen, Banyumas hanya
memiliki empat leksem. Kemudian leksem-lekse itu menjadi suatu kebudayaan dolanan bocah masyarakat tersebut.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Menangkap dari seluruh pembahasan dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa leksem yang digunakan beraktivitas yang dilakukan dalam
dolanan bocah lebih melihat ke jenis
permainan. Jenis permainan itu pula melihat pada besar atau kecilnya
permaianan. Jumlah leksem dalam aktivitas atau kata kerja pada permainan besar kurang
lebih ada delapan leksem, antara lain Mlumpat
atau setring, nendhang atau nyempar, dengklek, ndodhok atau ndhogrok,
ngiter, ngethungi, mbalang atau nguncali, dsb.
Pada urutan kedua disusul aktivitas pada permainan
kecil memiliki kurang lebih lima leksem, antara lain njiwit, nyiting, dengklek,
ngunclang, nggacho, dsb. Sementara
pada klasifikasi orangnya hanya memiliki empat leksem, antara lain masang, bawang kothong, sambit, dan lithung.
5.2. Saran
Setelah dilakukan penelitian terhadap leksem–leksem
aktivitas dolanan bocah masyarakat
Banyumas, penulis merasa masih banyak kekurangan dari penelitian ini, maka
saran saya yakni:
1.
Analisis
terhadap leksem–leksem aktivitas aktivitas dolanan bocah perlu dilakukan dengan menggunakan ruang lingkup yang
berbeda, karena setiap ruang lingkup daerah memiliki ciri dan bahasa yang
hampir berbeda. Misalkan dengan menggunakan bahasa masyarakat Jogja ataupun
Solo.
2.
Analisis
terhadap leksem–leksem aktivitas aktivitas dolanan bocah juga dapat dikaji dari aspek linguistik lain.
Misalnya, antropolinguistik, sosiolinguistik, dan pragmatik.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.
2001. Semantik: Pengantar Studi Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Ardhany.
2010. “Analisis Komponen Makna Slang dalam Album Snoop Dogg Malice n
Wonderland” (Skripsi). Semarang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro.
Chaer,
Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Harianja, Nurilam.
2010. “Medan Makna Aktivitas Memasak Dalam Bahasa Perancis” (Tesis).
Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Sitanggang,
dkk. 1997. Medan Makna Aktivitas Tangan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sudaryanto.
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tarigan,
Henry Guntur. 1995. Pengajaran Semantik. Bandung: Offset Angkasa.
0 komentar:
Posting Komentar