Blogger Widgets

Rabu, 23 Desember 2015

Cerpen Tema Keterbelakangan mental dan cinta karya Dina Deen

Dua Dalam Satu
Karya: Dina Deen

Matahari sedang tidak bersahabat denganku. Sengatannya membuat ubun-ubun semakin mendidih. Topi merah yang tempo hari kubeli dari pedagang asongan terpaksa kukenakan. Topi dengan rajutan tulisan Erlina, namaku, dibagian depannya. Entah apa respon bos nanti jika melihatku menggunakan topi itu lagi. Dua hari lalu ketika baru kubeli langsung dikatai topi kampung oleh bos kecilku. Iya, bos kecilku. Bos yang juga masih menyandang status mahasiswa, sama sepertiku. Namun tepatnya, dia mahasiswa pengusaha. Berbeda denganku yang hanya meraup untung menjadi karyawannya, bekerja paruh waktu di sela-sela kuliah yang begitu padat. Kafe kecil bosku sudah sangat terkenal di daerah ini. Banyak muda-mudi yang menggandrungi kafe kami. Kebanyakan pengunjung merupakan sepasang kekasih. Sama seperti sepasang sejoli aneh yang ku dapati hari ini. Tidak, tepatnya hanya salah satu dari mereka yang mendapat julukan itu.
Sang gadis mendekati meja pesanan. Kebetulan Robi, sesama karyawan yang hobi sekali mendengarkan musik, tidak mendengar suara lonceng yang digetarkan gadis itu. Aku pun beranjak dari kursi kasir dan melayaninya.
“ Satu kopi Cappucino, satu ice chocolatte ya, Mbak.”
“ Iya. Bungkus atau minum sini?”
“ Minum disini, itu... sudah ada yang menunggu di meja sana,” ujarnya seraya menunjuk pada meja ujung kafe. Di meja itu terdapat satu pemuda dengan wajah tampan berkulit kuning langsat. Di balik kacamatanya terlihat jelas pemuda itu masih sibuk memandangi sang gadis. Gadis yang mengenakan baju merah muda dengan kerah bermotif bintik putih itu memanglah sangat cantik. Lesung pipitnya merekah seraya memperhatikan sang kekasih. Tunggu, entah kekasih atau teman, aku memang kurang memahaminya. Namun, aku sudah sering melihat keduanya datang kemari. Entah itu hanya mereka berdua saja, dengan satu teman yang lain, atau dengan rombongan beberapa orang yang sepertinya juga kawan baik mereka. Pertama kali mereka kesini datang berombongan dengan beberapa anak laki-laki dengan seragam yang sama. Seragam putih dengan bawahan kotak abu-abu.
“Terimakasih mbak.” Kata gadis itu lagi. Ia berlalu membawa dua cangkir kopi pesanannya. Pelanggan tengah sepi. Jadi tidak menjadi sebuah kesalahan apa ketika aku terus memperhatikan sepasang anak sma itu. Ada hal yang menorehkan pertanyaan besar di benakku. Pemuda itu memiliki tatapan sendu. Seakan telah melakukan sebuah dosa besar yang tak termaafkan.
“ Cantik sekali, andai dia belum punya kekasih. Iya kan, Er?” Celetuk Robi. Dia baru saja tersadar dari belasan musik baratnya. “ Seseorang gadis itu lebih cantik ketika dia belum memiliki kekasih.”
“ Itu menurutmu saja, ku kira. Tapi, memangnya kamu yakin mereka benar-benar sepasang kekasih?”
Robi memutar bola matanya, mencoba mengingat-ingat sesuatu. “ Entahlah, Er. waktu itu dia kemari dengan laki-laki yang berbeda. Tapi aku tidak yakin dengan yang waktu itu, ataupun yang ini. Aku hanya yakin jika dia denganku.”
Seringai Robi membuatku mencibirnya dengan spontan. Kurampas headphone beserta mp3 miliknya dan berlalu begitu saja. Robi, dia memang seseorang yang gemar bercanda. Sesaat ketika aku baru sampai di singgasana kasirku. Seseorang tiba-tiba datang ke hadapanku. Dan pembicaraan itu kemudian terjadi terus menerus tepat di depan mata.
*****
“ Kenapa?” Tanya Indah kepadaku. Mataku masih tak henti-hentinya terpaku menatap wajah lugu yang ada di hadapanku saat ini. Sang gadis tersenyum manis, mengeja kembali sebuah tawaran untuk kesekian kalinya. “ Mau minum apa?”
            Kedua pundakku terangkat dengan tetap menunjukkan gelagat kikuk. Senyuman Indah yang tak pernah memudar membuatku semakin bingung untuk bersikap. Cinta yang hampir genap berusia tiga tahun ini sudah terlalu mengembun manis. Terbumbui dan semakin terasa ketika kami bersama. Namun, tatapan mataku yang sebenarnya merupakan sebuah tatapan nanar. Tatapan cinta dengan sekelebat ketakutan menjalarinya. Aku sadar apa yang telah kulakukan adalah sebuah kesalahan. Kekasih sahabatku ini tidak seharusnya  kuajak pergi bersama. Tetapi tidak, hatiku menolak pernyataan itu. Bukan aku yang mengajak, melainkan gadis berambut panjang sebahu itu yang menawari pertama kali. Dari kejauhan, mataku masih mencuri pandang terhadapnya. Indah pun masih merasakan tatapan tajam yang ku lakukan. Dari balik meja pesanan, lesung pipitnya kembali mencuat cantik. Lesung pipit itu mengingatkanku tentang  masa lalu yang telah terlambat. Lima bulan lalu pastinya, ketika sebuah hal naas terjadi.
            Aku sebenarnya tidak suka menyebut hal itu dengan sebutan naas, karena seharusnya itu adalah hal yang membahagiakan. Bagaimana mungkin tidak membahagiakan ketika mendapati sahabat terdekatku sendiri, Seno, mendapatkan kekasih baru. Seno kala itu menemuiku dengan sebuah seringai lebar. Aku suka menamainya dengan seringai rubah bermakna ganda. Tangan bekulit kuning langsat milik Seno merangkul pundakku sembari berjalan di lorong gelap lantai tiga. Hal yang selalu sama dilakukan olehku dengannya ketika melintasi lorong menuju ke kelas kami.
            “ Arya dan Seno, tampaknya nama kita bagus jika kita jadikan satu,” ucap Seno suatu ketika sembari memakan es krim pisang dengan tangan kirinya. Mungkin teman satu sekolah pun merasakan  seperti yang dikatakan Seno itu. Sesekali, mereka memang memanggil kami menjadi satu.
            Langkah serentak kami berdua terhenti, mendapati langkah lain datang dari arah yang berlawanan. Indah dengan beberapa buku berukuran besar di tangan, berjalan lunglai memberikan sinyal permohonan bantuan. Seno adalah pemuda dengan antena paling tajam yang pernah ada. Dia sigap menghampiri Indah seraya memasang seringai sama seperti yang selalu ia lakukan. Lesung pipit cantik mencuat dengan sangat mempesona di pipi Indah. Ia muncul menyambut kedatangan seseorang yang memang telah lama mendekatinya. Percakapan mereka terjalin begitu saja, mengalir dengan renyah, seakan tidak ada aku yang masih teronggok di ujung persimpangan. Berulangkali aku merasakan itu.  Sampai suatu hari ku dengar jelas pernyataan cinta dari sahabatku itu untuk si gadis.
            “ Iya, aku mau.” Jawaban Indah terdengar nyaring di telingaku. Perpustakaan bercat kuning sekolah kami menjadi saksi hatiku yang mulai pupus. Namun aku tetap memakluminya. Seno sang bintang sekolah, takkan sebanding denganku, meskipun aku menjabat ketua osis di sekolah sekaligus. Seno notabenenya seorang pemuda supel dan tampan. Berbeda denganku, seorang pemuda berkacamata dengan cap si kutu buku.
            Lamunanku seketika terbuyar begitu saja. Tangan halus Indahlah yang menyebabkannya. Ia menyodorkan kopi cappucino dingin ke hadapanku. Jemari Indah teremas lembut ketika tangan kananku meraih kopi itu dari jemarinya.       
            “ Makasih, ya.”
            Indah mengangguk dan tersenyum kecil, “ Tapi kamu sedang baik-baik saja, kan?”
            “ Aku baik. Hanya saja...” ucapanku terputus, membuat dahi Indah sedikit berkerut. “Hanya saja, aku sedang berpikir sesuatu. Aku takut kamu menyakitinya.”
            “ Siapa?”
            “ Seno.”
            Indah terkekeh mendengar nama Seno tersebutkan. Ia kembali menatapku dengan menggenggamkan tangan kanannya ke tangan kiriku. Diriku terkejut bukan main. “ Entah itu Seno ataupun Arya, aku tidak peduli,” ucapnya, “ Aku hanya peduli pada orang di hadapanku saat ini.”
            Genggaman itu segera terlepas. Aku menyadari hal itu sebuah kesalahan. Aku membuang muka, berusaha menutupi wajah merah yang baru Indah sebabkan. Dari kejauhan, tatapan mataku tiba-tiba terpaut pada sesosok pemuda. Pemuda bermata sipit mengenakan baju kotak-kotak coklat tengah menatap kami dengan tatapan garang. Ekspresi muka yang belum pernah ku dapati sebelumnya dari pemuda berkulit kuning langsat itu. Aku pun bangkit, bermaksud  pergi ke kasir untuk segera beranjak dari tempat itu. Aku benar-benar tidak berharap pemuda yang ku lihat itu memanglah Seno.
            Sampai seketika aku baru saja mengeluarkan dompet. Tangan pemuda itu mencegah dompet itu terbuka. Mata kami berdua saling bertatapan. Aku mendapati orang itu dengan kikuk. Seno berdiri disampingku sembari memasang rokok di  mulutnya. Aku berusaha tak acuh, dan kembali berkutat dengan sesosok wanita di kasir. Namun, wanita bertopi di hadapanku juga hanya menatapiku dengan tatapan heran. Aku menolehkan muka pada pemuda di sampingku tadi. Dia sudah mulai menghisap rokok dengan nikmatnya. Untuk menghadapi canggung di antara kami, aku berusaha memberi penjelasan.
            “ Bukan aku yang mengajaknya terlebih dahulu.”
            Dia mengepulkan asap rokoknya ke mukaku. Aku terbatuk 
            “ Aku tidak peduli akan hal itu,” ucap Seno, “ Aku hanya tidak habis pikir akan apa yang kalian lakukan disini. Atau mungkin di tempat lain di waktu yang berbeda.”
            Aku hanya terdiam. Tak tahu harus berkata apa padanya. Ku sodorkan uang pada wanita di hadapanku, wanita yang mulai mengacuhkan percakapan kami berdua.
            “ Kurasa kata sahabat sudah tidak pantas kita sebut-sebut lagi di antara kita, Arya dan Seno. Oh, tidak... lebih tepatnya Si Penghianat dan Seno.”
            Aku tercekat. Mata Seno tampak merah.  Aku masih tidak dapat menyangkal apapun lagi pada pemuda yang ku anggap sahabatku sejak kecil itu. Sahabat yang selalu bersamaku dimanapun dan kapanpun ku butuhkan.
            Tiba-tiba kepalan tinju tangan kiri Seno melayang di pipiku. Tubuhku roboh di samping meja kasir,  tepatnya di dekat wanita dengan topi bertulis nama Erlina yang masih terus memandangi perkelahian kami. Ia memang hanya memandangi kami, tanpa berusaha menjauhkan Seno dariku. Aku yang tidak terima dengan pukulannya pun membalas dengan tidak kalah sengit. Tidak peduli ia siapaku.
            Perkelahian sengit kami pun terjadi. Tidak butuh waktu lama  untuk mengumpulkan orang-orang di sekitar kafe untuk menonton kami. Sekali lagi, mereka memang hanya menonton. Tidak ada yang berusaha melerai. Sampai sebuah tangan halus memegang kuat pundakku. Ia mengelus luka di bibirku dengan tangan putihnya. Seno semakin menatapku dengan tatapan kebencian yang luarbiasa. Akan tetapi anehnya, ia hanya berdiri mematung. Tidak berusaha menyerangku sekali lagi. Hal itu terjadi mungkin karena ada sosok Indah yang kini melindungiku.
            “ Arya, kamu terluka? Ayo kita pulang saja.” Ajak Indah. Tangannya megangkat lenganku dan mencoba memapah. Aku menyeringai kecil. Aku tak heran sama sekali kenapa Indah mengacuhkannya. Aku yakin gadis itu sudah yakin telah memilih pasangan yang salah. Indah lebih mencintaiku.
*****
            Punggung keduanya sudah terlihat seperti titik kecil saja di bola mataku. Gerombolan pengunjung yang ikut menyaksikan kejadian tadi pun sudah bubar, meskipun mereka masih membicarakannya tanpa henti. Anak lelaki itu memang aneh, sesuai dengan perkiraan ketika awal perjumpaan kami. Ketika ia datang ke kafe tempatku kerja, atau bahkan ketika ia baru berdiri di hadapanku di meja kasir. Ia berucap sendiri, mengepulkan rokok yang ia tiupkan pada mukanya sendiri. Aku yakin akan hal itu karena pemuda dengan tangan kidal itu sempat menatapku pula. Aku tak dapat membayangkan bagaimana rasanya jika diposisi sang gadis. Ku tepis semuanya dengan segera. Sampai tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah benda yang teronggok di meja kasirku. Sebuah dompet coklat kulit dengan gambar tengkorak kecil di pojok sebelah kanan.

            Pemuda yang mengguling-gulingkan tubuh dan memukuli dirinya sendiri di lantai tadi meninggalkan dompetnya di meja kasir. Ya, memang hanya dompet itu yang tersisa lengkap dengan kotoran abu rokok. Abu itu berasal dari sepuntung rokok yang tadi ia hisap menggunakan tangan kirinya sewaktu membayar di kasirku. Ku harap mereka belum berjalan jauh dari sini. Segera ku keluarkan KTP pemuda itu dari dalam dompet. “Arya Suseno”, nama pemuda dengan mengenakan baju kotak-kotak coklat yang sempat terjatuh di samping meja kasirku tadi. Nama itu tertera jelas di KTP si pemuda. Bersebelahan dengan sebuah fotonya tanpa menggunakan kacamata. Nama yang bagus menurutku, dan mungkin akan menjadi satu nama yang fenomenal di telingaku sampai kapanpun.

0 komentar:

Posting Komentar