Dua Dalam Satu
Karya: Dina Deen
Matahari sedang tidak bersahabat
denganku. Sengatannya membuat ubun-ubun semakin mendidih. Topi merah yang tempo
hari kubeli dari pedagang asongan terpaksa kukenakan. Topi dengan rajutan
tulisan Erlina, namaku, dibagian depannya. Entah apa respon bos nanti jika melihatku
menggunakan topi itu lagi. Dua hari lalu ketika baru kubeli langsung dikatai
topi kampung oleh bos kecilku. Iya, bos kecilku. Bos yang juga masih menyandang
status mahasiswa, sama sepertiku. Namun tepatnya, dia mahasiswa pengusaha.
Berbeda denganku yang hanya meraup untung menjadi karyawannya, bekerja paruh
waktu di sela-sela kuliah yang begitu padat. Kafe kecil bosku sudah sangat
terkenal di daerah ini. Banyak muda-mudi yang menggandrungi kafe kami.
Kebanyakan pengunjung merupakan sepasang kekasih. Sama seperti sepasang sejoli
aneh yang ku dapati hari ini. Tidak, tepatnya hanya salah satu dari mereka yang
mendapat julukan itu.
Sang gadis mendekati meja pesanan.
Kebetulan Robi, sesama karyawan yang hobi sekali mendengarkan musik, tidak
mendengar suara lonceng yang digetarkan gadis itu. Aku pun beranjak dari kursi
kasir dan melayaninya.
“ Satu kopi Cappucino, satu ice
chocolatte ya, Mbak.”
“ Iya. Bungkus atau minum sini?”
“ Minum disini, itu... sudah ada yang
menunggu di meja sana,” ujarnya seraya menunjuk pada meja ujung kafe. Di meja
itu terdapat satu pemuda dengan wajah tampan berkulit kuning langsat. Di balik
kacamatanya terlihat jelas pemuda itu masih sibuk memandangi sang gadis. Gadis
yang mengenakan baju merah muda dengan kerah bermotif bintik putih itu
memanglah sangat cantik. Lesung pipitnya merekah seraya memperhatikan sang
kekasih. Tunggu, entah kekasih atau teman, aku memang kurang memahaminya.
Namun, aku sudah sering melihat keduanya datang kemari. Entah itu hanya mereka
berdua saja, dengan satu teman yang lain, atau dengan rombongan beberapa orang
yang sepertinya juga kawan baik mereka. Pertama kali mereka kesini datang
berombongan dengan beberapa anak laki-laki dengan seragam yang sama. Seragam
putih dengan bawahan kotak abu-abu.
“Terimakasih mbak.” Kata gadis itu lagi.
Ia berlalu membawa dua cangkir kopi pesanannya. Pelanggan tengah sepi. Jadi
tidak menjadi sebuah kesalahan apa ketika aku terus memperhatikan sepasang anak
sma itu. Ada hal yang menorehkan pertanyaan besar di benakku. Pemuda itu
memiliki tatapan sendu. Seakan telah melakukan sebuah dosa besar yang tak
termaafkan.
“ Cantik sekali, andai dia belum punya
kekasih. Iya kan, Er?” Celetuk Robi. Dia baru saja tersadar dari belasan musik
baratnya. “ Seseorang gadis itu lebih cantik ketika dia belum memiliki
kekasih.”
“ Itu menurutmu saja, ku kira. Tapi,
memangnya kamu yakin mereka benar-benar sepasang kekasih?”
Robi memutar bola matanya, mencoba
mengingat-ingat sesuatu. “ Entahlah, Er. waktu itu dia kemari dengan laki-laki
yang berbeda. Tapi aku tidak yakin dengan yang waktu itu, ataupun yang ini. Aku
hanya yakin jika dia denganku.”
Seringai Robi membuatku mencibirnya
dengan spontan. Kurampas headphone beserta mp3 miliknya dan berlalu begitu
saja. Robi, dia memang seseorang yang gemar bercanda. Sesaat ketika aku baru
sampai di singgasana kasirku. Seseorang tiba-tiba datang ke hadapanku. Dan pembicaraan
itu kemudian terjadi terus menerus tepat di depan mata.
*****
“ Kenapa?” Tanya Indah kepadaku. Mataku
masih tak henti-hentinya terpaku menatap wajah lugu yang ada di hadapanku saat
ini. Sang gadis tersenyum manis, mengeja kembali sebuah tawaran untuk kesekian
kalinya. “ Mau minum apa?”
Kedua
pundakku terangkat dengan tetap menunjukkan gelagat kikuk. Senyuman Indah yang
tak pernah memudar membuatku semakin bingung untuk bersikap. Cinta yang hampir
genap berusia tiga tahun ini sudah terlalu mengembun manis. Terbumbui dan
semakin terasa ketika kami bersama. Namun, tatapan mataku yang sebenarnya
merupakan sebuah tatapan nanar. Tatapan cinta dengan sekelebat ketakutan
menjalarinya. Aku sadar apa yang telah kulakukan adalah sebuah kesalahan.
Kekasih sahabatku ini tidak seharusnya
kuajak pergi bersama. Tetapi tidak, hatiku menolak pernyataan itu. Bukan
aku yang mengajak, melainkan gadis berambut panjang sebahu itu yang menawari
pertama kali. Dari kejauhan, mataku masih mencuri pandang terhadapnya. Indah
pun masih merasakan tatapan tajam yang ku lakukan. Dari balik meja pesanan,
lesung pipitnya kembali mencuat cantik. Lesung pipit itu mengingatkanku
tentang masa lalu yang telah terlambat.
Lima bulan lalu pastinya, ketika sebuah hal naas terjadi.
Aku
sebenarnya tidak suka menyebut hal itu dengan sebutan naas, karena seharusnya
itu adalah hal yang membahagiakan. Bagaimana mungkin tidak membahagiakan ketika
mendapati sahabat terdekatku sendiri, Seno, mendapatkan kekasih baru. Seno kala
itu menemuiku dengan sebuah seringai lebar. Aku suka menamainya dengan seringai
rubah bermakna ganda. Tangan bekulit kuning langsat milik Seno merangkul
pundakku sembari berjalan di lorong gelap lantai tiga. Hal yang selalu sama
dilakukan olehku dengannya ketika melintasi lorong menuju ke kelas kami.
“
Arya dan Seno, tampaknya nama kita bagus jika kita jadikan satu,” ucap Seno suatu
ketika sembari memakan es krim pisang dengan tangan kirinya. Mungkin teman satu
sekolah pun merasakan seperti yang
dikatakan Seno itu. Sesekali, mereka memang memanggil kami menjadi satu.
Langkah
serentak kami berdua terhenti, mendapati langkah lain datang dari arah yang
berlawanan. Indah dengan beberapa buku berukuran besar di tangan, berjalan
lunglai memberikan sinyal permohonan bantuan. Seno adalah pemuda dengan antena
paling tajam yang pernah ada. Dia sigap menghampiri Indah seraya memasang
seringai sama seperti yang selalu ia lakukan. Lesung pipit cantik mencuat
dengan sangat mempesona di pipi Indah. Ia muncul menyambut kedatangan seseorang
yang memang telah lama mendekatinya. Percakapan mereka terjalin begitu saja,
mengalir dengan renyah, seakan tidak ada aku yang masih teronggok di ujung
persimpangan. Berulangkali aku merasakan itu.
Sampai suatu hari ku dengar jelas pernyataan cinta dari sahabatku itu
untuk si gadis.
“
Iya, aku mau.” Jawaban Indah terdengar nyaring di telingaku. Perpustakaan
bercat kuning sekolah kami menjadi saksi hatiku yang mulai pupus. Namun aku
tetap memakluminya. Seno sang bintang sekolah, takkan sebanding denganku,
meskipun aku menjabat ketua osis di sekolah sekaligus. Seno notabenenya seorang
pemuda supel dan tampan. Berbeda denganku, seorang pemuda berkacamata dengan
cap si kutu buku.
Lamunanku
seketika terbuyar begitu saja. Tangan halus Indahlah yang menyebabkannya. Ia
menyodorkan kopi cappucino dingin ke hadapanku. Jemari Indah teremas lembut
ketika tangan kananku meraih kopi itu dari jemarinya.
“ Makasih, ya.”
Indah mengangguk dan tersenyum
kecil, “ Tapi kamu sedang baik-baik saja, kan?”
“ Aku baik. Hanya saja...” ucapanku
terputus, membuat dahi Indah sedikit berkerut. “Hanya saja, aku sedang berpikir
sesuatu. Aku takut kamu menyakitinya.”
“ Siapa?”
“
Seno.”
Indah
terkekeh mendengar nama Seno tersebutkan. Ia kembali menatapku dengan
menggenggamkan tangan kanannya ke tangan kiriku. Diriku terkejut bukan main. “
Entah itu Seno ataupun Arya, aku tidak peduli,” ucapnya, “ Aku hanya peduli
pada orang di hadapanku saat ini.”
Genggaman
itu segera terlepas. Aku menyadari hal itu sebuah kesalahan. Aku membuang muka,
berusaha menutupi wajah merah yang baru Indah sebabkan. Dari kejauhan, tatapan
mataku tiba-tiba terpaut pada sesosok pemuda. Pemuda bermata sipit mengenakan
baju kotak-kotak coklat tengah menatap kami dengan tatapan garang. Ekspresi
muka yang belum pernah ku dapati sebelumnya dari pemuda berkulit kuning langsat
itu. Aku pun bangkit, bermaksud pergi ke
kasir untuk segera beranjak dari tempat itu. Aku benar-benar tidak berharap
pemuda yang ku lihat itu memanglah Seno.
Sampai
seketika aku baru saja mengeluarkan dompet. Tangan pemuda itu mencegah dompet
itu terbuka. Mata kami berdua saling bertatapan. Aku mendapati orang itu dengan
kikuk. Seno berdiri disampingku sembari memasang rokok di mulutnya. Aku berusaha tak acuh, dan kembali
berkutat dengan sesosok wanita di kasir. Namun, wanita bertopi di hadapanku
juga hanya menatapiku dengan tatapan heran. Aku menolehkan muka pada pemuda di
sampingku tadi. Dia sudah mulai menghisap rokok dengan nikmatnya. Untuk
menghadapi canggung di antara kami, aku berusaha memberi penjelasan.
“
Bukan aku yang mengajaknya terlebih dahulu.”
Dia
mengepulkan asap rokoknya ke mukaku. Aku terbatuk
“
Aku tidak peduli akan hal itu,” ucap Seno, “ Aku hanya tidak habis pikir akan
apa yang kalian lakukan disini. Atau mungkin di tempat lain di waktu yang
berbeda.”
Aku
hanya terdiam. Tak tahu harus berkata apa padanya. Ku sodorkan uang pada wanita
di hadapanku, wanita yang mulai mengacuhkan percakapan kami berdua.
“
Kurasa kata sahabat sudah tidak pantas kita sebut-sebut lagi di antara kita,
Arya dan Seno. Oh, tidak... lebih tepatnya Si Penghianat dan Seno.”
Aku
tercekat. Mata Seno tampak merah. Aku
masih tidak dapat menyangkal apapun lagi pada pemuda yang ku anggap sahabatku
sejak kecil itu. Sahabat yang selalu bersamaku dimanapun dan kapanpun ku
butuhkan.
Tiba-tiba
kepalan tinju tangan kiri Seno melayang di pipiku. Tubuhku roboh di samping
meja kasir, tepatnya di dekat wanita
dengan topi bertulis nama Erlina yang masih terus memandangi perkelahian kami.
Ia memang hanya memandangi kami, tanpa berusaha menjauhkan Seno dariku. Aku
yang tidak terima dengan pukulannya pun membalas dengan tidak kalah sengit.
Tidak peduli ia siapaku.
Perkelahian
sengit kami pun terjadi. Tidak butuh waktu lama
untuk mengumpulkan orang-orang di sekitar kafe untuk menonton kami.
Sekali lagi, mereka memang hanya menonton. Tidak ada yang berusaha melerai.
Sampai sebuah tangan halus memegang kuat pundakku. Ia mengelus luka di bibirku
dengan tangan putihnya. Seno semakin menatapku dengan tatapan kebencian yang
luarbiasa. Akan tetapi anehnya, ia hanya berdiri mematung. Tidak berusaha
menyerangku sekali lagi. Hal itu terjadi mungkin karena ada sosok Indah yang
kini melindungiku.
“
Arya, kamu terluka? Ayo kita pulang saja.” Ajak Indah. Tangannya megangkat
lenganku dan mencoba memapah. Aku menyeringai kecil. Aku tak heran sama sekali
kenapa Indah mengacuhkannya. Aku yakin gadis itu sudah yakin telah memilih
pasangan yang salah. Indah lebih mencintaiku.
*****
Punggung
keduanya sudah terlihat seperti titik kecil saja di bola mataku. Gerombolan
pengunjung yang ikut menyaksikan kejadian tadi pun sudah bubar, meskipun mereka
masih membicarakannya tanpa henti. Anak lelaki itu memang aneh, sesuai dengan
perkiraan ketika awal perjumpaan kami. Ketika ia datang ke kafe tempatku kerja,
atau bahkan ketika ia baru berdiri di hadapanku di meja kasir. Ia berucap
sendiri, mengepulkan rokok yang ia tiupkan pada mukanya sendiri. Aku yakin akan
hal itu karena pemuda dengan tangan kidal itu sempat menatapku pula. Aku tak
dapat membayangkan bagaimana rasanya jika diposisi sang gadis. Ku tepis
semuanya dengan segera. Sampai tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah benda yang
teronggok di meja kasirku. Sebuah dompet coklat kulit dengan gambar tengkorak
kecil di pojok sebelah kanan.
Pemuda
yang mengguling-gulingkan tubuh dan memukuli dirinya sendiri di lantai tadi
meninggalkan dompetnya di meja kasir. Ya, memang hanya dompet itu yang tersisa
lengkap dengan kotoran abu rokok. Abu itu berasal dari sepuntung rokok yang
tadi ia hisap menggunakan tangan kirinya sewaktu membayar di kasirku. Ku harap
mereka belum berjalan jauh dari sini. Segera ku keluarkan KTP pemuda itu dari
dalam dompet. “Arya Suseno”, nama pemuda dengan mengenakan baju kotak-kotak
coklat yang sempat terjatuh di samping meja kasirku tadi. Nama itu tertera jelas
di KTP si pemuda. Bersebelahan dengan sebuah fotonya tanpa menggunakan
kacamata. Nama yang bagus menurutku, dan mungkin akan menjadi satu nama yang
fenomenal di telingaku sampai kapanpun.