WASITA ADI
Satu
hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita
menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud
pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan
juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga
daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua. Bangsa yang
besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup
modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.
Alon-alon waton klakon
Filosofi ini sebenarnya berisikan
pesan tentang safety . Orang dahulu sudah mengisyaratkan arti penting filosofi
ini, tapi banyak orang melecehkan bahkan menganggap sebagai sifat malas orang
jawa. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan
tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang
safety. Di dunia modern masalah safety menjadi bagian terpenting untuk
keberhasilan suatu pekerjaan karena didalamnya ada aturan-aturan yang
menginstrusikan menghindari resiko-resiko yang akan terjadi.
Narimo ing pandum
Sudah berapa sering terdengar orang melecehkan filosofi ini.
Biasanya orang hanya mengenal bahwa orang jawa itu hanya bersikap ‘Nrimo” saja.
Sifat pasrah dan mau dijajah oleh penguasa. Padahal bukan hanya berhenti sampai
di kata “Nrimo” saja. Tapi lebih dari kata itu adalah ‘Nrimo ing Pandum’ atau
Menerima kepada hasil pembagian. Arti yang mendalam menunjukan pada sikap
Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi.
Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah
dia kerjakan. Biasanya orang yang memegang teguh filosofi ini dia akan ringan
dalam bekerja dan yang terpenting adalah dipercaya oleh orang lain. Nah
kepercayaan adalah hal terpenting dalam dunia usaha. Bukan tidak mungkin
kesuksesan selalu diterimanya oleh pemegang filosofi ini.
Saiki jaman edan yen ora edan ora
komanan, sing bejo sing eling lan waspodo
Orang indonesia cenderung mengikuti mode, tren atau budaya yang
sebenarnya belum saatnya kita peroleh atau bahkan memang sangat tidak cocok
dengan jiwa bangsa kita. Kecenderungan mengikuti mengikuti tren itulah yang
membuat lupa akan bahaya yang mengancam. Hanya orang yang ingat kepada Allah
(disini saja juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang
setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan
musibah yang berkepanjangan. Pada filosofi ini kata ‘sing bejo sing eling lan
waspodo’ sering tidak terdengar lagi. ‘Sekarang jaman gila kalau tidak ikut
gila maka tidak kebagian, hanya orang ingat (kepada Tuhan) dan waspada (bahaya)
yang menerima keberuntungan’. itulah arti dari filosofi diatas.
Mangan ora mangan sing penting
ngumpul
‘Makan tidak makan yang penting kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah
peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual.
Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita
mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan
aman, tentram dan sejahtera. ‘Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi,
yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak
tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’ melambangkan
berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama. Saya
pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah filosofi yang
cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan
bangsa ini tercapai.
Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa
Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan
fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan
hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun.
Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam
meraih cita- citanya. Filosofi inilah yang membuat masyarakat suku jawa
tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan disayangi oleh suku lain.
Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso o
Rumongso
Ketika kita memperoleh suatu pengetahuan, ilmu, atau pengalaman
terkadang muncul sifat sombong dari diri kita. Bahwa kita dapat menyelesaikan
suatu masalah dengan ilmu atau pengalaman yang kita peroleh. Padahal banyak faktor
yang menentukan penyelesaian suatu masalah dan bukan hanya dari sudut pandang
yang kita pahami. Di sini orang lantas merasa bisa, sifat ego manusia yang
muncul tanpa menghiraukan pendapat orang lain. Dalam filosofi Jawa, sifat ini
yang dinamakan Rumongso Biso (merasa bisa). Ajaran masyarakat Jawa menekankan
untuk dapat melakukan koreksi ke dalam, sehingga tidak terdorong untuk
menghujat atau merendahkan orang lain. Cobalah untuk memahami pendapat yang
lain, walau hal itu mungkin sangat bertentangan dengan yang kita yakini. Dengan
Biso o Rumongso (bisa merasa) atau melatih empati kita untuk memahami orang
lain akan mendorong untuk berkompromi mencapai suatu keseimbangan. Hal ini akan
membuat semua perselisihan atau konflik yang ada di dunia ini dapat teratasi.
Janganlah menjadi orang yang merasa bisa, melainkan yang bisa merasa.
Jika terus digali ada banyak filosofi dalam budaya Jawa pada dasarnya bersifat
universal. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin
mempelajarinya