21 Maret 2014 pukul 11:47
Oleh Dhoni Zustiyantoro
Kemerdekaan Indonesia menjadi penanda penting dalam sejarah kesusastraan
Jawa. Pada masa penjajahan, pemerintahan kolonial telah mengontrol segala hal
terkait bahan bacaan, termasuk sastra, yang juga digunakan sebagai bahan ajar
di sekolah formal kolonial. Ras (1985) menyebut, keinginan untuk “memerdekakan”
karya sastra muncul setelah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka.
Telah lama sastra Jawa hidup dalam ragam tradisional. Secara turun-temurun,
para pujangga di keraton menggunakan tembang macapat sebagai wadah penciptaan.
Beberapa karya yang termasyhur adalah Wulangreh (karya Pakubuwana IV,
1768-1820),Kalatidha (karya Ranggawarsita, 1802-1873), dan Wedhatama (karya Mangkunegara
IV,1811-1881).
Kita tahu, tembang macapat mengharuskan penciptanya untuk taat pada guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan yang, bila hal itu
tidak ditaati, akan berpengaruh pada distribusi makna. Macapat juga mengandung
bahasa arkais dan butuh penerjemah untuk dapat memahami makna yang terkandung.
Karena diabdikan untuk kekuasaan dan digunakan sebagai alat pencitraan
penguasa, sastra Jawa klasik menjadi minim kritik terhadap pemerintahan yang
berkuasa. Meski kemudian ditemukan sejumlah serat yang berisi kritik itu, namun
kritik terhadap datangnya Islam yang dianggap menggoyahkan kebudayaan Jawa,
sebut saja serat Gatholoco, dan Darmagandhul (Ki “Kalamwadi”).
Sejauh mana sastra dapat merepresentasikan keadaan zaman dan sampai di mana
sastra dapat dijadikan rujukan sejarah? Dua pertanyaan ini hampir pasti
mengemuka ketika mendudukkan sastra sebagai bagian yang terpisahkan dari apa
yang saya sebut sebagai kahanan.
Kita sepakat, pengarang adalah penguasa dalam dunianya sendiri, dunia
sastra yang bakal dia ciptakan. Namun, sebebas apa pun dia, tetaplah
membutuhkan medium bahasa yang, secara konvensional, digunakan sebagai medium
penciptaan sastra. Dalam kondisi macam inilah, pengarang harus bergulat dengan kahanan: membaca, menyuguhkan, hingga menafsir keadaan.
Keadaan, yang kemudian bakal menjadi sejarah, hanya menjadi “modal” awal
pengarang untuk berkarya.
Sastra Jawa modern—Ras (1985) menyebutnya sebagai “sastra Jawa gagrag
anyar” dan “sastra Jawa model baru” —diciptakan sebagai upaya perlawanan
terhadap sastra Jawa tradisionalis yang dinilai mengekang itu. Damono (1993)
mendeskripsikan, sastra Jawa disebut “modern” karena dalam penyampaiannya telah
menggunakan huruf latin dan didistribusikan (diperbanyak dan dibaca) ke luar keraton.
Sastra Jawa modern ditengarai mulai muncul ketika Padmosusastro membuat Serat Rangsang Tuban (1912) yang berwujud novel—tidak
menggunakan medium tembang. Dia menyebut diri sebagai tiyang mardika ingkang marsudi dhateng kasusastran Jawi(Panjebar Semangat, 1961). Setelah itu, pintu penciptaan sastra Jawa modern seakan terbuka
lebar. Santosa (dalam Suratno, 2013) menyebut, dalam awal abad itu, buku
berbahasa Jawa yang diterbitkan Balai Pustaka cukup banyak karena mayoritas
pribumi yang berpendidikan formal Barat adalah masyarakat Jawa.
Santosa menyebut novel yang diterbitkan Balai Pustaka ketika itu antara
lain Katresnan, Saking Papa dumugi Mulya, Gawaning
Wewatekan, Gambar Mbabar Wewados, Pepisahan Pitu Likur Taun, Pameleh, dan Garang Garing. Meski kemudian,
novel tersebut sarat akan muatan kebijakan pemerintah Belanda dan kelangsungan
penjajahan di Indonesia. Di samping itu, novel-novel tersebut bisa dibilang
sekadar peniruan dari budaya Belanda.
Bukan berarti penciptaan tembang macapat lenyap setelah kemerdekaan.
Tembang macapat, lelagon dolanan anak, hingga gending-gending Jawa—yang memuat
syair-syair berbahasa Jawa—masih diciptakan oleh para pengarang yang hidup
setelah kemerdekaan. Hal itu karena masyarakat Jawa memiliki tradisi lisan yang
kuat. Sastra Jawa tidak hanya tertulis, tapi juga ditembangkan pada banyak
kesempatan berkumpul (Ras, 1985). Itulah mengapa, masih banyak para pengarang
sastra Jawa yang berkarya dengan medium sastra lisan ini.
Syahdan, berawal dari kesadaran pascakolonial, apa yang disuguhkan
pengarang pun menjadi lebih “merdeka”. Tak terhindarkan lagi hegemoni Indonesia
maupun Barat yang asyik-masyuk ke dalam sastra Jawa. Dan, setelah kemerdekaan,
sejauh mana pengarang mampu menyuguhkan kahanan dalam karyanya dan
sampai di mana karya itu mampu “memotret” kahanan—pascakemerdekaan?
***
Munculnya sastra Jawa modern pada mulanya menjadi bahan ejekan oleh para
kaum bangsawan yang feodalistis. Mereka menganggap sastra Jawa yang mulai
berkembang adalah “bacaan anak-anak dan tidak ada nilai sastranya”. Adapun yang
dipandang sebagai karya yang layak disebut sebagai karya sastra, hanyalah karya
sastra Jawa yang lahir dalam tembok keraton yang ditulis oleh para pujangga
kerajaan (Utomo, 2002). Utomo mendeskrispsikan pada awal perkembangannya di era
pascakemerdekaan, sastra Jawa modern mengandung unsur eskapisme.
Eskapisme merupakan sebuah keadaan atau sikap memasuki alam khayal atau
hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan atau masalah yang
tidak menggembirakan (Utomo, 2002). Dalam karya sastra, eskapisme kerap
dikaitkan dengan sastra populer yang diciptakan dengan tujuan menghibur. Utomo
menyebut karya sastra Jawa berwujud cerita pendek (cerkak) dan novel, yang
tercipta pada masa-masa awal pascakemerdekaan, banyak yang mengandung unsur
eskapisme ini.
Damono (1993) menyebut jika sastra Jawa populer dengan tema tersebut
merupakan “sastra pelarian”, tempat pembaca berusaha menghindarkan diri dari
segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari yang digolongkan sebagai keburukan.
Latar yang indah, dua tokoh yang rupawan, dan cakapan yang cekatan merupakan
anasir adegan yang mampu menciptakan semacam dunia pelarian bagi pembaca.
Damono pun memberikan contoh dalam cerkak Sampjuh (Panjebar Semangat, 17 Maret 1956).
Njono banjur mak prek, melu lubgguh ing satjedake. Karepe Warsinem arep
nglungani. Ning lagi bae menjat, tangane bandjur digeret. Bareng lungguh maneh,
djanggute bandjur dijdiwit mak tjetiiiiit. Warsinem sambat, karo mlerok. Atine
Njono saja tab-taban. Warsinem bandjur ndingkluk, dolanan krikil kang ana ing
lemah.
Membeludaknya sastra Jawa roman picisan atau panglipur wuyung dikarenakan sebagai upaya pelarian dari
gejolak sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada awal-awal kemerdekaan. Hal
itu tentu didorong oleh berkembangnya penerbitan majalah-majalah berbahasa Jawa
yang mulai menjamur. Selain Panjebar Semangat yang terbit di
Surabaya pada 1933 dan Jaya Baya yang mulai terbit di
Kediri pada 1945, setelah kemerdekaan, majalah yang terbit adalah Djaka Lodhang (Yogyakarta, 1967),Gumregah (Surakarta, 1967), Kunthi (Jakarta, 1969), Dharma Kanda (Surakarta, 1967),Dharma Nyata (Surakarta, 1971), Parikesit (Surakarta, 1971), Kumandhang (Jakarta, 1973).
Utomo juga menjelaskan, ciri utama dari sastra Jawa panglipur wuyung adalah dicetak tipis dan seukuran saku
sehingga membuat harganya murah. Unsur-unsur intrinsik, misalnya kisah yang
ditampilkan, adalah seputar percintaan dengan alur dan bahasa yang sederhana.
Semua unsur itu membuat isinya mudah dipahami.
Selain dapat dijelaskan melalui ciri-ciri yang ditampilkan oleh roman panglipur wuyung, dominannya fungsi hiburan dapat
dijelaskan pula dengan pemahaman historis tentang situasi dan kondisi negara
ketika itu. Dalam perkembangannya, sastra panglipur wuyung tidak sebatas pada
novelet yang dicetak tipis dan dengan kualitas rendah, tapi kemudian berkembang
menjadi sastra yang bertema erotis didukung dengan ilustrasi gambar yang
seronok (Utomo, 2002).
Novelet yang terbit dan kemudian dikaji oleh Utomo di antaranya Bocah Alim (1959),Wong kang Nyalawadi (1959), Gara-gara Rok Mepet Rambut Sasake (1966), Mekar ing Mangsa Panen (1966), dan Prawan Kaosan (1973).
Pada masa yang kurang lebih sama, pergumulan terhadap realitas ditanggapi
secara lebih serius dalam kesusastraan Indonesia. Kita tahu, tahun 1960-an
merupakan tahun-tahun paling panas dalam gejolak politik di Indonesia. Alhasil,
tema-tema pergerakan dan perlawanan secara riil menjadi hal yang lebih
ditonjolkan. Balai Pustaka setidaknya menerbitkan novelet Masa Bergolak (1968), Aku Penerus Juangmu(1978), Pijar-pijar Api Perang (1982), Pahlawan dan Kucing (1987), dan Anak dalam Perang (1988).
***
Ketiadaan hal serupa dalam sastra Jawa, termasuk kritik dan upaya
perlawanan terhadap pemerintahan, tiada lain karena konvensi budaya Jawa tidak
berada dalam keterbukaan kritik. Bukan tanpa alasan, masyarakat Jawa punya
prinsip alon-alon waton kelakon dan tidak terbiasa
dengan perubahan yang serba mengejutkan (Mulder, 1984). Secara turun-temurun,
budaya feodalistis yang menghormati liyan karena lebih berumur,
senioritas, dan jabatan—bukan karena prestasi, diajarkan sebagai nilai yang
diyakini keluhurannya. Dan, alih-alih merespon keadaan dan berbagai pergolakan
keadaan ketika itu, sastra Jawa justru “menyimpang” dan melawan dengan cara
“memilih jalur lain”, yakni genre sastra Jawa panglipur wuyung.
Konvensi budaya merupakan salah satu bagian terpenting dalam membentuk
formula dalam sebuah karya sastra (Cawelty, 1976). Yang dimaksud konvensi
budaya dalam karya sastra adalah hal-hal yang telah dipahami oleh masyarakat
penikmat karya sastra itu. Misalnya, wanita Jawa yang ideal adalah yang selalu
menurut pada suami, menjadi ibu rumah tangga, dan tidak neka-neka. Pria Jawa ideal adalah mereka yang dadi wong: mampu menghidupi keluarga, berkecukupan, dan menjadi
pemimpin keluarga yang baik.
Dalam sastra Jawa modern, termasuk juga sastra dalam medium bahasa lainnya,
formula menjadi penting di saat para pengarang ingin karyanya dibaca banyak
orang. Hal-hal yang sebenarnya telah diketahui oleh masyarakat Jawa, menjadi
modal utama untuk menciptakan karya yang formulanya sama, sebanyak-banyaknya.
Karena pada kenyataannya, sastra modern yang kemudian berorientasi pada
kepopuleran itu menuntut untuk tidak terlalu memberatkan pembaca dalam usaha
penikmatannya. Penikmat tidak bisa mencari pandangan segar, tidak bisa mencari
arah baru yang menuntunnya keluar dari kekangan konvensi (Damono, 2000).
Meski kemudian bila dilihat dari perspektif lain, perubahan budaya akibat
kolonialisme bersifat sangat kompleks. Bandel (2013) menyebut dalam konteks
kolonial, budaya penjajah dan terjajah bukan sebagai kekuatan yang setara.
Sebagai akibat dari ketidaksetaraan itu, Bandel menjelaskan di dunia ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan kesenian, model dan standar Barat kini digunakan
secara universal, sedangkan pengetahuan lokal terpinggirkan atau tereksotiskan.
Dalam perspektif Bandel, sastra Jawa modern panglipur
wuyung juga dapat dimaknai sebagai respon terhadap kahanan pergolakan kebudayaan
pascakolonial.
***
Sastra Jawa modern yang hidup pada ranah konvensi budaya Jawa yang
mengajarkan masyarakatnya bertindak untuk tidak sepenuhnya terbuka, banyak
ditemukan tanda yang sangat mungkin menuai penafsiran yang beragam. Tidak
terkecuali untuk sastra Jawa klasik, yang harus diterjemahkan terlebih dahulu
untuk memahami isi dan maknanya yang rumit, adalah alasan mengapa sastra itu dianggap
sebagai sastra adiluhung (Damono, 2000). Apa yang diungkapkan pengarang dalam
karya sastra yang dibuat, disamarkan dalam karyanya.
Berdasar hal tersebut, dalam budaya Jawa muncul pula konvensi bahwa semakin
samar apa yang diungkapkan, akan semakin menunjukkan kedewasaan manusia Jawa.
Sedangkan yang belum mampu melakukan hal tersebut, dianggap durung Jawa, tidak njawani, atau belum dewasa
dari sisi kawruh atau pengetahuan (Zustiyantoro, 2012).
Kini, konvensi budaya itu masih senantiasa digunakan pada sastra Jawa
modern. Karena bagaimanapun, sastra Jawa merupakan sastra nasihat, yang di
dalamnya penuh dengan wejangan yang berguna bagi kehidupan masyarakat
pembacanya (Damono, 2000). Akan tetapi, dalam kaitannya dengan sastra yang
lebih populer, sastra Jawa hadir dengan berbagai penyederhanaan simbol. Di era
modern, pengarang semakin perlu melakukan hal itu supaya karya yang mereka buat
dibaca oleh banyak orang.
Hingga kini, konvensi budaya Jawa masih tergambarkan dalam karya sastra
Jawa modern. Pada 14 September 2013, misalnya, Panjebar Semangat memuat cerkakNgempet karya Suparto Brata. Ketidakberdayaan
untuk menyuarakan pendapat dan melawan, diceritakan dalam cerita itu. Saya
menyuguhkan analisis cerkak itu dengan teori semiotik model Subur Wardoyo
(2005).
Berdasar pembacaan saya, narasi Ngempet bertumpu atas binary
opposition: hidup dalam ketertundukan versus hidup dalam kebebasan.
Oposisi tersebut menjadi pancang bagi sebuah struktur skema naratif dasar: [Aku
duduk--Aku berlari--Aku mengajak ngobrol dan berkirim pesan singkat].
Skema naratif dasar ini berkisar dari tokoh Aku yang hampir selalu
dikisahkan pada posisi duduk. Pada awal cerita, Aku naik angkutan dari rumah
Rungkut ke Jayabaya dan kemudian naik ojek dari Jayabaya ke Osowilangun.
Setelah itu, Aku melanjutkan perjalanan dengan naik bus dari Osowilangun ke
Bojonegoro. Duduk merupakan ketertundukan dan ketidakmampuan Aku pada rasa
ingin kencing yang sudah dirasakan semenjak dari pos ojek Osowilangun.
Selain itu, pada pergantian naik angkutan satu ke angkutan yang lain, Aku
juga selalu berlari. Termasuk ketika Aku meminta kondektur bus menunggu sejenak
di terminal Bunder, karena Aku sudah tidak tahan lagi ingin kencing. Namun
setelah masuk ke dalam toilet, karena punya kebiasaan sulit kencing, Aku
kesulitan dan tidak tuntas dalam mengeluarkan air kencing. Hal itu dialaminya:
[...] Mlebu toilet, clana dakbukak, kathok njero dakcincingke, dakcurake...
ndadak angel metune. Pancen aku duwe penyakitan kaya ngono. Angger mbayangake
arep mlebu jedhing, rasane ora kena diempet, bareng wis cucul, diedenke uyuh
angel metune. Ngono uga ing toilet kuwi. Metune mung sithik-sithik, kudu sabar
yen ngenteni nganti tuntas. Ning ya ora ndang tuntas.
Sepanjang cerita, Aku juga melakukan aktivitas berbincang dengan tukang
ojek dan orang di bangku sebelah di dalam angkot dan bus. Hal ini dilakukan
agar Aku sedikit terlupakan pada kencing yang selalu ditahan. Selain itu, Aku
juga sesekali berkirim pesan kepada orang yang bakal menjemput di terminal
Bojonegoro. Kondisi macam ini nampak:
Aku SMS Mas Hoery, “Numpak bis Moedah. Aku gebled pipis, ning bise wis
mlayu banter ing jalan tol.”
Dunia kebebasan sebagai oposisi biner yang ingin dibangun dalam cerita,
berupa keadaan di sekitarnya. Di saat Aku hanya bisa duduk dan ngempet, tukang
ojek bebas bercerita tentang kisah hidupnya yang tidak mendapat balsem (bantuan
sosial sementara). Setelah itu, di dalam angkutan, Aku juga melihat orang
dengan bebas naik-turun kendaraan yang ia tumpangi. Kebebasan juga tercermin
ketika datang dua orang pengamen cantik yang bersuara merdu. Sebuah hal
paradoks dengan keadaan Aku yang tak bisa berbuat banyak karena menahan rasa ingin
kencing.
Berdasar hasil analisis, Aku yang bersedia menumpang ojek dan mengatakan “Nggih, pun, ngga!” sebagai signifier utama dalam cerkak
ini. Kesanggupan Aku untuk naik ojek merupakan index dari seluruh beban
psikologis bawah sadar tokoh Aku. Kalimat itu manandaskan bahwa untuk menuju
Osowilangun, Aku memutuskan untuk naik ojek daripada naik bus kota. Hal itu dia
lakukan karena selain tukang ojek yang mampu membujuk, Aku juga meyakini bahwa
naik ojek akan memangkas waktu tempuh. Dan, hal yang paling utama, tokoh Aku
ketika itu telah merasakan ingin kencing, selain waktu untuk menunggu bus kota
juga lama. Tanpa berpikir panjang, Aku segera berkata,“Nggih, pun, ngga!” ketika tukang ojek menawarkan jasanya.
Tukang ojek pun berkata:
[...] “Ojek mawon, Pak. Dangu. Sajam melih baru enten. Sabtu bise
dikurangi. Ngojek kula Rp 20.000 sampek teng terminal. Ngge pelarisan, regi
bensin 13, opah ngojek 7 ewu,” ana tukang ojek nawani aku. Penyakit, aku wis
krasa gebled ngyuh, becik enggal tekan terminal Osowilangun, nguyuh kana.
“Nggih, pun, ngga!” Aku numpak ojek, werrr!
Kemudian, kesanggupan untuk ngempet air kencing dilakukan
tokoh Aku hingga naik angkutan berikutnya. Meskipun sudah kencing di toilet
saat bus singgah di terminal Bunder, akan tetapi Aku tidak tuntas dalam
mengeluarkan air seninya. Walhasil, Aku harus kembali ngempet.
Ketertundukan Aku pada ngempet juga tercermin
sepanjang cerita. Aku selalu berada dalam posisi duduk dan berlari. Duduk saat
berada di atas angkutan, dan lari ketika harus berganti dan naik angkutan
kembali. Semua hal itu konsisten dia lakoni karena punya kesanggupan, “Nggih, pun, ngga!”
Secara keseluruhan, cerita Ngempet mempunyai makna yang
mendalam. Bagi masyarakat Jawa yang tidak bisa selalu terbuka dalam banyak hal, Ngempetmerupakan kritik sosial. Seseorang yang bahkan untuk kebutuhan mendasar
pun, yakni kencing, sampai tidak terpenuhi dan memperjuangkan “hak” itu
sendiri. Budaya Jawa yang mengajarkan masyarakatnya untuk selalu mengungkapkan
segala sesuatu secara samar dan tidak blak-blakan, pada tataran tertentu adalah
hal yang tidak menyenangkan.
Meskipun kemudian Ngempet juga bukti bahwa,
masyarakat Jawa selalu ingin menahan banyak hal yang diinginkannya. Hal ini
saya anggap sebagai nilai moral yang masih relevan hingga saat ini, karena di
tengah arus modernisasi yang mengarah pada konsumerisme, masyarakat modern
seakan ingin mendapatkan segala karena keinginan, bukan kebutuhan. Semua barang
ingin didapat, tanpa memperhatikan kegunaan dan berapa banyak uang yang dikeluarkan.
Dalam tataran inilah, ngempetmampu pula menjadi
auto kritik bahwa segala keinginan hendaknya diempet, untuk kemudian
dipikirkan dan direnungkan kembali. Terlebih lagi, hal ini akan sangat berarti
ketika harus memutuskan hal-hal besar yang bakal memiliki pengaruh terhadap
kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat.
***
Dalam khazanah sastra Jawa, cerita bertema pesugihan pun masih senantiasa
diciptakan hingga kini. Hal itu karena majalah Panjebar Semangat—sebagai salah satu majalah mingguan berbahasa
Jawa terbesar—masih menyediakan kolom Alaming
Lelembut dalam setiap kali penerbitannya yang, menurut saya, menjadi pemicu genre
sastra bertema mistis dan gaib.
Dalam tataran realitas, banyak tempat di Jawa masih diyakini dihuni oleh
makhluk gaib yang dapat dimintai bantuan untuk mendatangkan rezeki dalam tempo
singkat. Tempat-tempat itu, yang biasanya diceritakan berlatar hutan atau
pegunungan, tak lepas dari kepercayaan masyarakat Jawa yang percaya terhadap
kekuatan lain di luar manusia dan Tuhan. Ada korelasi antara cerita rakyat
dengan kehidupan alam dan kepercayaan terhadap makhluk gaib yang memiliki
kekuatan untuk membantu berbagai urusan manusia.
Cerita pesugihan selalu dimulai dengan kegagalan seseorang, entah dalam
membina rumah tangga, gagal karena tidak dapat mendapatkan pasangan yang
dikehendaki, hingga gagal secara ekonomi. Tokoh yang mengalami hal ini sering
digambarkan mempunyai tubuh dan wajah yang, kalau tidak buruk, pastilah sangat
rupawan. Tidak ada yang yang digambarkan secara “biasa-biasa” saja. Hal itu
kemudian membuat tokoh frustasi dan putus-asa dalam menjalani hidup di tengah
masyarakatnya. Dia merasa rendah diri karena tidak bisa dadi wong, sebutan untuk orang Jawa yang dapat hidup normal,
yakni punya istri, berkeluarga dan berkecupan.
Pesugihan tentu saja bertentangan dengan budaya Jawa. Mengambil pesugihan
tidak sejalan dengan tatanan yang terdapat dalam budaya Jawa. Pesugihan merupakan
cara cepat untuk meraih kemuliaan tanpa berusaha secara wajar, dan itu tidak
dibenarkan. Di sisi lain, pesugihan yang meminta syarat berupa tumbal nyawa
yang harus selalu diberikan secara rutin juga merugikan orang lain. Setidaknya
hal itu bertentangan dengan tatanan Jawa: pasrah, alon-alon waton kelakon, dan aja gawe
sengsaraning liyan.
Kepercayaan akan dunia mistis yang banyak didapati dalam cerita rakyat Jawa
tersebut disebabkan latar belakang masyarakat Jawa yang tidak terlepas dari
animisme dan dinamisme. Termasuk pula, dalam ranah kebudayaan, masyarakat Jawa
selalu ingin hidup untuk selaras dengan alam. Dalam berbagai kesempatan, mereka
sering menggelar ritual untuk menghormati alam dan kekuatan lain.
Dalam cerita pesugihan, nama tempat yang dapat dikunjungi untuk meminta
pesugihan sering disamarkan atau tidak disebutkan. Hanya disebutkan di gunung
atau alas yang angker dan memang sudah terkenal
dapat dimintai pesugihan. Tempat itu didatangi oleh “mereka yang telah putus
asa”. Selain itu, pesugihan dapat pula diminta kepada “orang pintar”. Karena
faktor sosial dan tekanan atas banyak hal, seseorang bisa memutuskan untuk
mencari kemuliaan dengan cara seperti itu.
Pesugihan, seperti yang kita tahu, selalu meminta tumbal atau korban nyawa
yang harus selalu diberikan secara berkala. Bila tidak, dhanyang pesugihan sendiri yang akan “memakan” si majikan.
Memang, tak lama setelah datang kepada “orang pintar” untuk meminta pesugihan,
seseorang akan mendadak mendapat kemuliaan. Namun dia harus konsisten atas apa
yang telah menjadi perjanjian: mengorbankan nyawa keluarga atau saudaranya.
Hingga kini, masih banyak dijumpai pesugihan--baik yang hadir sekadar
sebagai cerita atau diyakini sebagai kenyataan--yang menjadi perbincangan
masyarakat Jawa. Di tengah mereka, hal-hal yang berkaitan dengan kehilangan
uang secara tiba-tiba, langsung dikaitkan dengan adanya tuyul yang mengambil.
Termasuk bila melihat tetangga yang mendadak sugih, tanpa menampakkan
jerih payah terlebih dahulu. Hal seperti itu, dinilai sebagai hal yang tidak
wajar dan lekat dengan ciri orang yang mengambil pesugihan. Hal itu karena, sekali lagi, masyarakat Jawa punya
prinsip alon-alon waton kelakon dan tidak terbiasa
dengan perubahan yang serba mengejutkan (Mulder, 1984). Karena hal itu, semua
hasil yang telah diperoleh harus “ditampakkan” juga usaha-usaha untuk
meraihnya. Bila ada yang seolah tak sesuai dengan prinsip ini, boleh jadi
seseorang dalam kehidupannya di masyarakat akan dicurigai memiliki pesugihan.
***
Menurut saya, adalah hal yang menggembirakan jika semakin banyak karya
sastra yang ditulis dengan kesadaran pascakolonial. Karena dengan cara seperti
itu, sastra akan berfungsi sebagai representasi atas kahanan: sastra akan banyak berbicara tentang relasi kekuasaan global serta
kondisi khas masyarakat pascakolonial yang menjadikan kritik dan perlawanan
sebagai ciri utama. Dan, sejauh mana kita mendapati hal itu dalam jagat sastra
Jawa modern?
[*] Prasaran untuk diskusi putaran keempat Forum Studi Morfem Bebas, Rabu,
26 Maret 2014, di kediaman Sendang Mulyana, Perum Trangkil, Gunungpati,
Semarang.
Rujukan
Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme
Pascakolonialitas. Yogyakarta: Pustaka Hariara.
Brata, Suparto. Ngempet. Panjebar Semangat,
14 September 2013.
Cawelty, John. J. 1976. Adventure, Mystery, and
Romance: Formula Stories as Art and Popular Culture. Chicago: The
University of Chicago Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa
Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priyayi
Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari
Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Panjebar Semangat. 1961. Padmosusastro. Surabaya: Panjebar
Semangat.
Utomo, Imam Budi., dkk. 2002. Eskapisme
Sastra Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Ras, J.J. (ed.). 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa
Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.
Santosa, Puji. 2013. Memotret Masyarakat Jawa pada
Awal Abad Ke-20, pengantar untuk buku Masyarakat Jawa & Budaya
Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial(Suratno, 2013). Yogyakarta: Penerbit
Adi Wacana.
Quinn, George. 1995. Novel Berbahasa Jawa. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Wardoyo, Subur. 2005. Semiotika dan Struktur Narasi. Kajian Sastra, vol.
29, No. 1, Januari 2005.
Zustiyantoro, Dhoni. Aja Kaget, Aja Panik, Apalagi
Nekat! Esai di harian Suara Merdeka, 18 Maret 2012.
0 komentar:
Posting Komentar